Biasanya kita lebih familiar mendengar doa sapu jagad, nah di Nagari Lunang kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat ada namanya "Doa Menyapu Rumah" doa ini bukan berupa lafaz seperti doa sapu jagad dan jangan membayangkan pula membersihkan rumah dengan sapu sembari berdoa..! seperti ini untuk lebih jelasnya cekidot...π
Sejarah awal doa menyapu rumah
Asal mula doa menyapu rumah, adalah saat ketika suatu keluarga akan melaksanakan hajatan pernikahan dari pihak perempuan maupun hajatan sunatan, maka dilakukanlah rembug keluarga besar terdiri dari Penghulu suku (Datuk), Pemangku adat, Mamak (Paman), Keponakan dan seluruh kerabat dekat. Hal ini dilakukan untuk sekiranya ada permasalahan seperti perselisihan dalam keluarga, tidak lagi bertegur sapa disebabkan suatu hal baik karena masalah ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Sebelum resepsi dimulai seluruh permasalahan tersebut musti diselesaikan. Sesuai dengan semangat dan musyawarah dalam adat minangkabau "tiada kusut yang tidak terselesaikan dan tiada keruh yang tidak terjernihkan" sebagaimana lazimnya setelah musyawarah selesai ditutup dengan doa makan bersama. Dari filosofi musyawarah inilah dinamakan "Doa Menyapu Rumah" dalam bahasa daerah Lunang (Badawa nyapu umah).
Evolusi doa menyapu rumah
Seiring dengan berjalannya waktu Doa menyapu rumah telah banyak mengalami perubahan, awalnya sebagaimana disebutkan diatas. Kalangan yang hadir bukan cuma keluarga inti lagi secara berangsur telah dihadiri oleh semua kalangan yang sesuku serta tetangga dari yang mengadakan hajatan. Sekarang semua masyarakat dari berbagai latar belakang suku bahkan kerabat dari luar daerah pun ikut tentunya yang bersangkutan telah diberitahukan sebelumnya.
Doa menyapu rumah dilaksanakan tiga hari sebelum acara puncak hajatan biasanya dilaksanakan pada hari selasa malam ba'da magrib namun bisa saja bukan pada hari selasa kalau seandainya ada haul lain. Karena yang hadir ratusan orang tuan rumah musti menyiapkan beberapa tenda serta numpang dengan tetangga sebelah dan jangan heran sering meluber dipinggir jalan raya. Masakan yang disediakan bukan lagi sebatas nasi gulai tetapi berupa Sate atau Pecal serta buah-buahan, minuman disamping kopi dan teh ada juga minuman kemasan, sesuai adat istiadat musti ada dua Punjung (sejenis tumpeng) satu didalam rumah satu diluar (dalam tenda). Sebelum menyantap makanan yang disajikan tersebut jangan lupa Sumbangan sesuai kemampuan ditulis Nama serta jumlahnya.
Setelah selesai makan sebelum bubar atau pulang pemangku adat memberitahukan jumlah sumbangan yang terkumpul kepada orang yang hadir, akan tetapi para tetua, penghulu, pemangku adat dan kerabat dekat yang berada didalam rumah belum pulang, masih ada pembahasan berikut diantaranya lama dan bentuk acara hajatan serta kesenian atau hiburan apa saja yang akan diadakan nantinya musti disampaikan pihak tuan rumah pada saat itu.
Banyak sedikitnya masyarakat yang hadir sangat tergantung dari pergaulan dan interaksi si tuan rumah dalam bermasyarakat, ibarat arisan kalau hajatan orang kita tak pernah pergi jangan harap orang lain banyak yang datang pada saat hajatan kita kecuali kerabat dekat, dalam artian bukan karena keluarga terpandang lantas banyak yang datang atau sebaliknya karena keluarga sederhana sedikit yang datang, tidak..! Semakin banyak yang datang tentu semakin besar sumbangan yang terkumpul sesuai dengan asas gontong royong untuk membiayai resepsi, bahkan dana yang terkumpul bisa melebihi biaya yang dikeluarkan selama resepsi. Hmm...tentu tuan rumah beruntung sekali. Selain faktor diatas ada salah satu sebab sedikitnya kehadiran masyarakat yaitu faktor cuaca, kalau sudah hujan lebat siap-siap tuan rumah rugi besar bisa-bisa biaya modal buat makanan dan minuman tidak kembali, makanya sebelum doa menyapu rumah si tuan rumah biasanya bernazar serta mendatangi pawang hujan (hehehehe)⛈.